Pada malam Jumat Kliwon seorang wanita yang tengah hamil tua tengah berjuang mengeluarkan anak keduanya dari perutnya dengan didampingi seorang dukun beranak. Namun tanpa perjuangan yang berat anak tersebut berhasil dikeluarkan ketika bersin di kala sang petir menggelegar.
Hal tersebut membuat si ibu menjadi senang karena merasa tak perlu membayar jasa si dukun/ Alhasil dukun pun marah, sambil komat-kamit mulut mbah dukun baca mantra, dengan air putih lalu ibu disembur “byurr”... Tapi tetap saja si ibu tidak membayar jasa mbah dukun. ***
Tiga tahun berlalu...
“Mak... nini apa?”, tanya anak laki-laki bernama Ruri dengan logat cadal, sambil memberi gumpalan hitam kecil.
“Apa ini, Nak?”, tanya si emak sambil menerima benda tersebut, Ruri hanya mengangkat bahu pertanda tidak mengerti. Si emak pun mencoba mengendus bau si hitam kecil tersebut, dengan harapan menemukan jawaban.
“Kok baunya aneh ya???”, tutur si emak pasca mengendus. “Kamu dapat ini darimana?”, tanya emak lagi.
“Dali sini..”, jawab Ruri sambil menunjuk lubang hidungnya.
“??????????”, si emak hanya menganga menatap ketololan si anak. ***
Tiga tahun berlalu lagi...
Di TK Dharma Bakti kini Ruri bersekolah.
“Ruri.... coba baca ini!”, ujar Bu guru sambil menunjuk papan tulis.”
“S..U.., su, S..I., si., bacanya apa?”, tanya bu guru pada Ruri sambil mengeja.
“Su.......!!!”, jawab Ruri sambil berfikir.
“Su... apa Ruri?”, tanya bu guru.
“Su.... su....!!!”, jawab Ruri singkat.
“Ha....????”, bu guru hanya dapat menganga akan jawaban Ruri. ***
Hingga di udia yang hampir menginjak 7 tahun, si Ruri masih mengedot. Mungkin itulah sebanya gigi Ruri kini menjadi lebih maju dibanding anak lain pada umumnya.
Tapi boleh dikatakan hal tersebut merupakan sumber keberuntungan bagi Ruri dan keluarganya. Bagaimana tidak, di umur Ruri yang masih 9 tahun, ia sudah sering memenangkan lomba lari (meski hanya lomba 17 Agustusan), hal tersebut dikarenakan gigi maju si Ruri yang sampainya mendahului kaki Ruri dan lawan-lawannya. Bagi keluarga Ruri, kelebihan gigi Ruri sering digunakan usaha penjualan es degan. Dimana ketika serutan degan hilang, si emak segera memanggil Ruri untuk meminjam fungsi giginya untuk serutan degan.
Tapi terkadang gigi tersebut juga jadi penghalang masa depannya. Misalnya saat di sekolah, guru-guru nya sering mengingatkannya agar tidak memakan bangku dan meja di sekolah. Padahal ia sama sekali tak pernah melakukan hal tersebut. ***
Di usia yang ke-12 si Ruri meminta disunat. Tapi,,, tatkala si Ruri yang baru selesai mandi hendak mengambil sisir di loker lemari (dalam keadaan telanjang), “adek” si Ruri terjepit, “ARGHHHHHHHHHHH.........!!!!”, teriak si Ruri, “Emaak................. Adek, Maaaaaaaaaaakkkkk!!!”
Si emak berbondong-bondong bersama sang bapak menuju kamar Ruri, ketika mereka sampai dan melihat keadaan Ruri, berkatalah mereka, “Alhamdulillah....”
“Pak... Kita nggak perlu mbayar Pak mantri mahal-mahal kalau gini..”, ujar si emak.
“????”, kini Ruri yang hanya bisa menganga. ***
Di suatu siang di kala Ruri berusia 14 tahun...
“Rur... Rur... Ruri.....”, triak Mbok Na, tetangga Ruri, pada Ruri yang tengah melintas menggunakan sepeda. Ruri pun berhenti.
“Ada apa, Mbok??”, tanya Ruri.
“Ini, Rur,,, aku nitip!!”, jawab Mbok Na sambil menyerahkan sekantong sampah. “Tolong buangkan ya!!!, pinta Mbok Na. Ruri segera mengambilnya dan membawanya.
Dirumah...
“Mak.... ini....”, ujar Ruri sambil menyerahkan sebuah kantong.
“Apa ini, Rur?”, tanya emak.
“Nggak tau, Mak, pokonya dari Mbok Na. Si emak dengan semangat ’45 membuka kantong tersebut, dengan harapan mendapat barang yang menyenangkan. Akan tetapi...
“Lho, kok sampah.....???”, tanya si emak. Ruri hanya mengangkat bahu.
Sore harinya...
“Mbok Na... Tadi sampeyan ngasi aku apa?”, ucap emak.
“Ngasih apa??/”, tanya Mbok Na, “Perasaan aku nggak ngasi apa-apa deh.”.
“Yang tadi itu, yang katanya dititipin ke Ruri..??”, jawab emak.
“Oh... alaaah....!!! Bodoh tenan anakmu... sampah toh...?!”, sahut Mbok Na sambil menggeleng menahan tawa, “Iyo,, tadi aku nitip sampah ke Ruri, supaya dibuang, lha kok malah dikasiin kamu?!”, jawab Mbok Na sambil tertawa.
“Sampeyan itu gimana she?? Anakku itu ndak bodoh, Cuma dia kurang pinter aj!!”, bela emak sambil menggumam dan berlalu pergi. ***
Di suatu siang nan panas, di usia Ruri yang ke-15 tahun...
“Iyah, Mas...”, jawab Ruri, segeralah Ruri memanaskan seped sang kakak.
Beberapa saat kemudian...
“Rur... sepeda masmu kok ditaruh di lapangan sih?”, tanya emak saat melihat sepeda motor anak pertamanya diletakkan di lapangan depan rumah.
“Disuruh mas, Mak!”, jawab Ruri sambil meninggalkan emak.
Si emak pun segera menghampiri si sulung dan berkata, “Yo... sepedamu kok ditaruh di lapangan sih? Kalau panas gimana tuh?”, tegur emak.
“Waduw... Ruri itu bodoh kok nggak ilang-ilang!!”, celoteh sang kakak yang bernama Priyo, “Tadi emang tak suruh manasin, tapi yang tak maksud mesinnya, Mak!”, ujar Priyo sambil beranjak memindahkan sepeda motornya. ***
Kini usia Ruri sudah 17 tahun...
Ruri melihat teman-temannya sudah punya pacar. Itulah sebabnya Ruri hendak menyatakan perasaannya pada seorang gadis yang sudah menjerat hatinya 3 hari ini.
“Nena, aku cinta padamu...”, ucap Ruri pada Nena sambil menyodorkan bunga matahari yang baru dicurinya di pekarangan Mbok Na. Si Nena tak malah senang tapi malah lari meninggalkan Ruri sambil menangis. Si Ruri pulang dengan lesu. Emak pun segera menghampiri sang anak.
“Kamu kenapa, Rur?”, tanya emak.
“Aku barusan bilang cinta ke cewek, Mak.”, jawab Ruri.
“Langsung? Gimana hasilnya?”, tanya emak.
“Ditolak, Mak!! Malahan anaknya nangis.”, jawab Ruri.
''Lho, kok bisa? Memangnya siapa cewek itu?”, tanya emak.
“Nena!”, jawab Ruri.
“Itu Nena anaknya Bu Rina.”, jawab Ruri.
“Hah??? Nena yang masih kelas 3 SD itu? Yang kemarin baru ulang tahun ke-9 itu?”, tanya emak. Ruri mengangguk.
Si emak hanya bisa mengelus dada menatap ketololan yang tak kunjung reda di otak sang anak, perlahan si emak pun berucap, “Anak ku....!!!”
Yang diberi iba hanya dapat meratapi nasib cintanya yang tak mulus. ***
Hal tersebut membuat si ibu menjadi senang karena merasa tak perlu membayar jasa si dukun/ Alhasil dukun pun marah, sambil komat-kamit mulut mbah dukun baca mantra, dengan air putih lalu ibu disembur “byurr”... Tapi tetap saja si ibu tidak membayar jasa mbah dukun. ***
Tiga tahun berlalu...
“Mak... nini apa?”, tanya anak laki-laki bernama Ruri dengan logat cadal, sambil memberi gumpalan hitam kecil.
“Apa ini, Nak?”, tanya si emak sambil menerima benda tersebut, Ruri hanya mengangkat bahu pertanda tidak mengerti. Si emak pun mencoba mengendus bau si hitam kecil tersebut, dengan harapan menemukan jawaban.
“Kok baunya aneh ya???”, tutur si emak pasca mengendus. “Kamu dapat ini darimana?”, tanya emak lagi.
“Dali sini..”, jawab Ruri sambil menunjuk lubang hidungnya.
“??????????”, si emak hanya menganga menatap ketololan si anak. ***
Tiga tahun berlalu lagi...
Di TK Dharma Bakti kini Ruri bersekolah.
“Ruri.... coba baca ini!”, ujar Bu guru sambil menunjuk papan tulis.”
“S..U.., su, S..I., si., bacanya apa?”, tanya bu guru pada Ruri sambil mengeja.
“Su.......!!!”, jawab Ruri sambil berfikir.
“Su... apa Ruri?”, tanya bu guru.
“Su.... su....!!!”, jawab Ruri singkat.
“Ha....????”, bu guru hanya dapat menganga akan jawaban Ruri. ***
Hingga di udia yang hampir menginjak 7 tahun, si Ruri masih mengedot. Mungkin itulah sebanya gigi Ruri kini menjadi lebih maju dibanding anak lain pada umumnya.
Tapi boleh dikatakan hal tersebut merupakan sumber keberuntungan bagi Ruri dan keluarganya. Bagaimana tidak, di umur Ruri yang masih 9 tahun, ia sudah sering memenangkan lomba lari (meski hanya lomba 17 Agustusan), hal tersebut dikarenakan gigi maju si Ruri yang sampainya mendahului kaki Ruri dan lawan-lawannya. Bagi keluarga Ruri, kelebihan gigi Ruri sering digunakan usaha penjualan es degan. Dimana ketika serutan degan hilang, si emak segera memanggil Ruri untuk meminjam fungsi giginya untuk serutan degan.
Tapi terkadang gigi tersebut juga jadi penghalang masa depannya. Misalnya saat di sekolah, guru-guru nya sering mengingatkannya agar tidak memakan bangku dan meja di sekolah. Padahal ia sama sekali tak pernah melakukan hal tersebut. ***
Di usia yang ke-12 si Ruri meminta disunat. Tapi,,, tatkala si Ruri yang baru selesai mandi hendak mengambil sisir di loker lemari (dalam keadaan telanjang), “adek” si Ruri terjepit, “ARGHHHHHHHHHHH.........!!!!”, teriak si Ruri, “Emaak................. Adek, Maaaaaaaaaaakkkkk!!!”
Si emak berbondong-bondong bersama sang bapak menuju kamar Ruri, ketika mereka sampai dan melihat keadaan Ruri, berkatalah mereka, “Alhamdulillah....”
“Pak... Kita nggak perlu mbayar Pak mantri mahal-mahal kalau gini..”, ujar si emak.
“????”, kini Ruri yang hanya bisa menganga. ***
Di suatu siang di kala Ruri berusia 14 tahun...
“Rur... Rur... Ruri.....”, triak Mbok Na, tetangga Ruri, pada Ruri yang tengah melintas menggunakan sepeda. Ruri pun berhenti.
“Ada apa, Mbok??”, tanya Ruri.
“Ini, Rur,,, aku nitip!!”, jawab Mbok Na sambil menyerahkan sekantong sampah. “Tolong buangkan ya!!!, pinta Mbok Na. Ruri segera mengambilnya dan membawanya.
Dirumah...
“Mak.... ini....”, ujar Ruri sambil menyerahkan sebuah kantong.
“Apa ini, Rur?”, tanya emak.
“Nggak tau, Mak, pokonya dari Mbok Na. Si emak dengan semangat ’45 membuka kantong tersebut, dengan harapan mendapat barang yang menyenangkan. Akan tetapi...
“Lho, kok sampah.....???”, tanya si emak. Ruri hanya mengangkat bahu.
Sore harinya...
“Mbok Na... Tadi sampeyan ngasi aku apa?”, ucap emak.
“Ngasih apa??/”, tanya Mbok Na, “Perasaan aku nggak ngasi apa-apa deh.”.
“Yang tadi itu, yang katanya dititipin ke Ruri..??”, jawab emak.
“Oh... alaaah....!!! Bodoh tenan anakmu... sampah toh...?!”, sahut Mbok Na sambil menggeleng menahan tawa, “Iyo,, tadi aku nitip sampah ke Ruri, supaya dibuang, lha kok malah dikasiin kamu?!”, jawab Mbok Na sambil tertawa.
“Sampeyan itu gimana she?? Anakku itu ndak bodoh, Cuma dia kurang pinter aj!!”, bela emak sambil menggumam dan berlalu pergi. ***
Di suatu siang nan panas, di usia Ruri yang ke-15 tahun...
“Iyah, Mas...”, jawab Ruri, segeralah Ruri memanaskan seped sang kakak.
Beberapa saat kemudian...
“Rur... sepeda masmu kok ditaruh di lapangan sih?”, tanya emak saat melihat sepeda motor anak pertamanya diletakkan di lapangan depan rumah.
“Disuruh mas, Mak!”, jawab Ruri sambil meninggalkan emak.
Si emak pun segera menghampiri si sulung dan berkata, “Yo... sepedamu kok ditaruh di lapangan sih? Kalau panas gimana tuh?”, tegur emak.
“Waduw... Ruri itu bodoh kok nggak ilang-ilang!!”, celoteh sang kakak yang bernama Priyo, “Tadi emang tak suruh manasin, tapi yang tak maksud mesinnya, Mak!”, ujar Priyo sambil beranjak memindahkan sepeda motornya. ***
Kini usia Ruri sudah 17 tahun...
Ruri melihat teman-temannya sudah punya pacar. Itulah sebabnya Ruri hendak menyatakan perasaannya pada seorang gadis yang sudah menjerat hatinya 3 hari ini.
“Nena, aku cinta padamu...”, ucap Ruri pada Nena sambil menyodorkan bunga matahari yang baru dicurinya di pekarangan Mbok Na. Si Nena tak malah senang tapi malah lari meninggalkan Ruri sambil menangis. Si Ruri pulang dengan lesu. Emak pun segera menghampiri sang anak.
“Kamu kenapa, Rur?”, tanya emak.
“Aku barusan bilang cinta ke cewek, Mak.”, jawab Ruri.
“Langsung? Gimana hasilnya?”, tanya emak.
“Ditolak, Mak!! Malahan anaknya nangis.”, jawab Ruri.
''Lho, kok bisa? Memangnya siapa cewek itu?”, tanya emak.
“Nena!”, jawab Ruri.
“Itu Nena anaknya Bu Rina.”, jawab Ruri.
“Hah??? Nena yang masih kelas 3 SD itu? Yang kemarin baru ulang tahun ke-9 itu?”, tanya emak. Ruri mengangguk.
Si emak hanya bisa mengelus dada menatap ketololan yang tak kunjung reda di otak sang anak, perlahan si emak pun berucap, “Anak ku....!!!”
Yang diberi iba hanya dapat meratapi nasib cintanya yang tak mulus. ***
.jpg)
1 komentar:
ha......ha................
Posting Komentar